
PORT MORESBY, Papua Nugini – Pada akhir Mei 2024, sebuah bencana dahsyat di Provinsi Enga, Papua Nugini (PNG), menjadi sorotan utama media internasional. Tanah longsor masif yang terjadi pada dini hari tanggal 24 Mei melenyapkan setidaknya satu desa, mengubur ratusan orang, dan memicu respons kemanusiaan global yang besar di tengah tantangan berat.
Bencana yang terjadi di wilayah Maip-Mulitaka, sekitar 600 kilometer di barat laut ibu kota Port Moresby, diperkirakan menimbun lebih dari 2.000 orang hidup-hidup. Angka resmi jumlah korban jiwa masih simpang siur dan sulit dipastikan akibat masifnya longsoran dan sulitnya medan. Pemerintah PNG dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan perkiraan yang bervariasi, namun semuanya menunjuk pada tragedi kemanusiaan dengan skala yang mengerikan.
Longsoran tanah, batu, dan pepohonan setinggi beberapa lantai bangunan menimbun Desa Yambali saat sebagian besar warganya masih terlelap. Besarnya material longsor membuat upaya penyelamatan menjadi luar biasa sulit dan berbahaya. Kondisi tanah yang tidak stabil, lokasi yang terpencil di dataran tinggi, serta akses jalan utama yang terputus menjadi kendala utama bagi tim penyelamat dan pengiriman bantuan.
Penyebab dan Dampak Luas
Para ahli dan pejabat setempat menyebutkan kombinasi beberapa faktor sebagai kemungkinan penyebab bencana ini. Curah hujan yang sangat tinggi selama beberapa minggu sebelumnya diduga kuat menjadi pemicu utama. Perdana Menteri PNG, James Marape, juga menyoroti perubahan iklim sebagai faktor yang memperparah frekuensi dan intensitas bencana alam di negaranya. Selain itu, beberapa laporan juga menyebutkan adanya aktivitas penambangan emas di sekitar lokasi yang mungkin berkontribusi pada ketidakstabilan lereng.
Dampak dari tragedi ini sangat luas. Selain korban jiwa, ribuan orang kehilangan tempat tinggal, akses terhadap air bersih, dan mata pencaharian. Infrastruktur vital, termasuk jalan raya utama yang menghubungkan ke Tambang Emas Porgera, ikut terkubur, mengganggu perekonomian dan jalur pasokan. Ancaman wabah penyakit akibat pembusukan jenazah di bawah reruntuhan juga menjadi kekhawatiran serius bagi lembaga-lembaga kesehatan.
Respons Internasional dan Tantangan Kemanusiaan
Besarnya skala bencana ini dengan cepat menarik perhatian dunia. Negara-negara tetangga seperti Australia dan Selandia Baru menjadi yang pertama menawarkan dan mengirimkan bantuan, termasuk tim ahli, pasokan logistik, dan dukungan finansial. Amerika Serikat, Tiongkok, dan negara-negara lain, serta lembaga-lembaga internasional seperti PBB, UNICEF, dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), turut mengerahkan sumber daya mereka.
Bantuan kemanusiaan dari seluruh dunia mulai berdatangan, mencakup tenda darurat, makanan, obat-obatan, dan perlengkapan kebersihan. Namun, menyalurkan bantuan ke lokasi bencana menjadi tantangan tersendiri. Selain medan yang sulit, situasi keamanan yang rawan akibat konflik antarsuku di wilayah tersebut sempat menghambat pergerakan konvoi bantuan, yang memerlukan pengawalan dari militer PNG.
Upaya pencarian dan evakuasi korban pun dihadapkan pada dilema. Penggunaan alat berat berisiko memicu longsor susulan di tanah yang masih bergerak, sementara pencarian manual hampir mustahil dilakukan mengingat luas dan dalamnya timbunan. Pemerintah setempat pada akhirnya menyatakan wilayah tersebut sebagai “zona pemakaman massal”, sebuah keputusan pahit yang mengindikasikan kecilnya harapan untuk menemukan korban selamat.
Tragedi tanah longsor di Enga tidak hanya menjadi pengingat akan kekuatan alam yang merusak, tetapi juga menyoroti kerentanan komunitas yang hidup di wilayah terpencil dengan infrastruktur terbatas. Bencana ini menggarisbawahi pentingnya kerja sama internasional dalam menghadapi krisis kemanusiaan dan perlunya strategi mitigasi bencana yang lebih baik di negara-negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.