Oleh: Dian Rizka Rahmadhani dan Shafira Putri Natasya, Mahasiswa Universitas Pamulang

Foto: Koleksi Pribadi – diambil oleh Yosi Wasianti M.
Tangerang Selatan, 10 Desember 2025 – tidak bisa di pungkiri saat ini banyak sekali berita di televisi atau media social terkait konflik antara orangtua dan guru. Penyebabnya bervariasi. Mulai dari orang tua yang tidak terima akan kebijakan dan peraturan sekolah sampai apa yang dilakukan oleh guru di nilai sebagai tindakan criminal oleh orangtua. Tidak sedikit orang tua yang sering kali terjun langsung, mulai dari memantau aktivitas atau kegiatan sekolah hingga ikut campur dalam urusan guru. Fenomena ini dikenal dengan nama “Toxic Parenting” atau bisa kita sebut dengan pola asuh yang beracun. Fenomena ini semakin marak di Indonesia. Hal ini bisa berdampak buruk pada perkembangan anak. Artikel ini akan membahas dari sudut pandang sosiologi dan antropologi Pendidikan, dengan contoh nyata dari kehidupan sehari-hari di Indonesia.
Apa Itu Toxic Parenting dalam Pendidikan?
Dalam sosiologi Pendidikan, toxic parenting ini merujuk pada pola asuh yang Dimana control orang tua sangat dominan terhadap proses Pendidikan tanpa mempertimbangkan perkembangan anak. Hal ini sangat berbeda dengan partisipasi orang tua yang positif, seperti memberikan wadah kepada anak untuk mengembangkan minat dan bakatnya, membantu anak belajar dirumah, atau memberikan motivasi positif dalam pembelajaran anak. Justru, toxic parenting ini menciptakan tekanan psikologis seperti kecemasan atau depresi pada anak, bahkan dapat menciptakan karakter anak yang manja dan selalu bergantung kepada orang tua.
Dari perspektif antropologi, hal ini terkait dengan perubahan budaya keluarga di Indonesia. Di zaman dahulu, anak di tuntut untuk mandiri, hormat dan patuh kepada guru, serta memiliki sikap sopan santun terhadap guru, orangtua atau orang yang lebih tua. Namun saat ini, dengan adanya akses informasi di media social, orang tua merasa perlu “mengawasi” segalanya. Contohnya, di Jakarta dan Surabaya, orangtua sering ikut rapat sekolah, bahkan Ketika orangtua tidak puas dengan hasil pembelajaran anak, mereka menuntut sekolah untuk mengganti guru tersebut. Hal ini mencerminkan budaya kompetitif yang mendorong orang tua untuk “menang” dalam Pendidikan anak.
Dampak Negatif pada Anak dan Sistem Pendidikan
Studi dari Universitas Indonesia menunjukkan, anak-anak dengan orangtua yang overprotektif lebih rentan stress dan berujung pada masalah Kesehatan mental seperti burnout. Campur tangan berlebihan juga dapat merusak kemandirian anak. Anak yang selalu “dibela” orangtua cenderung kurang Tangguh untuk menghadapi masalah.
Di Indonesia, sudah terlihat jelas fenomena ini. Seperti di Bengkulu.guru SMA dipolisikan hingga diketapel akibat menegur siswa yang merokok. Alih-alih mengajari anak menghadapi masalahnya sendiri, orangtua langsung turun tangan dan membela anaknya hingga melakukan Tindakan menyerang kepada guru tersebut. Hal ini yang malah membuat anak semakin bergantung dan kurang percaya diri dalam menghadapi masalahnya.
Selain itu, ini membebani guru dan sekolah. Guru dan pihak sekolah tidak dapat menjalankan kebijakan yang sudah di tetapkan sekolah karna terhalang oleh campur tangan orang tua sehingga ini mengganggu proses belajar mengajar dan menciptakan ketegangan social di sekolah. disatu sisi, guru dan pihak sekolah merasa tidak leluasa dalam menjalankan tugasnya untuk menciptakan karakter yang posisitif untuk anak muridnya karna campur tangan orangtua, di sisi lain, guru memiliki tanggungjawab akan tugasnya.
Solusi Untuk Mengatasi Toxic Parenting
Dalam kasus ini, untuk mengurangi dampak ini Adalah dengan pendekatan kolaboratif. Sekolah bisa mengadakan workshop atau parenting untuk orangtua tentang batas campur tangan. Dimana saat itu juga, orangtua dan guru membuat kesepakatan Bersama dan bekerjasama dalam perkembangan anak. Guru bisa membuaat perjanjian tertulis dengan orantua yang berisi kesepakatan Bersama. Orangtua juga perlu intropeksi diri, membiarkan anak belajar dari kesalahannya. Di Indonesia, kampanye seperti “Pendidikan Tanpa Tekanan” dari kementrian Pendidikan bisa dipeluas.
Fenomena toxic parenting ini mencerminkan tantangan social di Indonesia saat ini. Dimana Pendidikan semakin kompetitif. Dengan kesadaran dan Kerjasama antara guru dan orangtua dapat menciptakan lingkungan Pendidikan yang lebih sehat dan adil. Jika kalian memiliki pengalaman yang serupa, kalian bisa bagikan di kolom komentar yah